Rabu, 08 Februari 2012

Dari Lempuyangan Menuju Tugu

Stasiun Lempuyangan
Jum’at, 27 Januari 2012. Matahari mulai memejamkan mata pertanda hari mulai gelap. Aku dan kedua temanku, Yoso dan Livia berjalan terburu-buru dibawah langit yang kebetulan berbintang. Dua kali naik angkot karena salah jalur ditambah berjalan kaki sejauh 500m untuk sampai ke Stasiun Kiaracondong Bandung, beruntung kita tidak ketinggalan kereta. Kita bertiga sama-sama duduk dibangku perkuliahan salah satu Universitas di Bandung. UKFM PERFORMA adalah sebuah UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang bergelut dibidang fotografi menakdirkan kita kenal. Musim liburan, semua mahasiswa pasti mendambakan musim yang penuh dengan pembebasan layaknya seorang napi baru keluar dari penjara. Walaupun hanya sebentar, tapi cukup untuk menghilangkan hiruk pikuk perkuliahan yang penuh dengan pergunjingan. Kita pun tidak mau ketinggalan momen liburan itu walaupun dengan kocek terbatas. D.I. Yogyakarta adalah tempat tujuan kita, kota yang masih kental akan seni dan budayanya. Dikursi tunggu Stasiun Kiaracondong Bandung kita bertiga asyik bergurau sambil menunggu kedatangan KA Kahuripan yang akan membawa kita menuju kota yang terkenal akan gudeg dan bakpia. Tepat pukul 21.30 WIB kereta datang dan kita bergegas masuk dan mencari tempat duduk sesuai tiket yang dibeli dari tuan-tuan yang mencari untung dari selebaran tiket KA kelas ekonomi yang masih berkeliaran bebas tanpa batas. KA kelas ekonomi sangat cocok bagi traveller dhuafa seperti kita dan sangat membantu. Juga terdapat banyak kantin berjalan, jadi tidak perlu khawatir jika perut lapar walau kadang membuat kita sedikit terganggu karena kebisingan menusia-manusia perkasa. Sangat disayangkan tarif kereta lagi-lagi naik, membuat para traveller dhuafa berpikir dua kali.

Pameran Foto Dokumentasi
Ngayogyakarta
Sinar mentari pagi sambut kedatangan tiga orang mahasiswa yang menapakan kakinya di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Stasiun yang tersisihkan bagi penumpang yang terjungkal akan modal. Udara pagi yang sejuk membuat kita terhayut akan suasana Yogyakarta. Bukan hanya Presiden, kita bertiga juga dijemput teman yang tinggal di Yogyakarta yang juga sama-sama dari UKM penggiat fotografi, LENSA UAD. Layaknya seorang Presiden, dijemput dan diantar ke penginapan, jamuan makanan dan minuman yang disajikan lebih dari cukup membuat kita merasakan benar-benar menjadi Presiden.

Alun-alun Kidul
Hari pertama di Yogyakarta ditemani panas teriknya matahari kami melangkahkan kaki untuk mellihat pameran foto yang bertemakan Dokumentasi Ngayogyakarta. Karya sejumlah fotografer dan arsip dari buku-buku sejarah membuat kita semakin tahu akan sejarah Yogyakarta dari bentuk bangunan sampai aktivitas keseharian masyarakat Yogyakarta dari tempo dulu terpajang di galeri Bentara Budaya Yogyakarta. Tamansari menjadi pijakan kita selanjutnya. Bangunan kuno yang merupakan sisa peninggalan kerajaan mataram. Bangunan yang sudah berumur ratusan tahun namun masih kokoh ini juga mengundang pengunjung berdatangan untuk sekedar melihat maupun berfoto. Lesehan nasi kucing malioboro mengakhiri perjalanan kita dihari pertama. Dengan hanya beralaskan tiker, duduk bersila, ngobrol sana-sini, senda gurau membuat kita semakin betah berlama-lama. Itulah keistimewaan Yogyakarta, kaya miskin, susah senang, tua muda sama-sama duduk bersila beralaskan tiker.

Pasukan Keraton
Hari kedua, Sekitar 27KM ke selatan Yogyakarta terdapat gunduk pasir yang juga merupakan daerah pesisir pantai. Layaknya padang pasir yang membahana, kami pun menyempatkan untuk mengambil beberapa gambar dan berfoto bersama. Alun-alun kidul Yogyakarta yang terkenal akan mitosnya, jika bisa melewati diantara dua pohon beringain dengan mata tertutup maka keinginanya akan tercapai. Kami pun mencobanya untuk menjawab rasa penasaran kami. Kebanyakan pengunjung yang mencoba tidak bisa melewati ditengah pohon beringain yang berumur ratusan tahun. Jika ingin berkeliling alun-alun kidul Yogyakarta, banyak juga yang menyewakan sepeda santai layaknya odong-odong yang bisa dinaiki lebih dari dua orang. Beramai-ramai mengayun sepeda cukup menghilangkan gundah gulana perkuliahan. Sekatenan mengundang dalam perjalanan kita selanjutnya. Sekatenan ini sebenarnya merupakan sebuah upacara perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Tepat diperjalanan kita mengunjungi sekatenan, dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dibawa berbondong-bondong oleh rombongan berseragam dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan secara bergantian.

Merapi
Warung SS yang menyajikan makanan serba pedas mengawali perjalanan kita dihari ketiga. Menikmati, meresapi dan menghayati detik demi detik mengalirnya rasa pedas yang sangat melekat. Dan tak lupa untuk berbelanja dipasar Beringharjo yang terletak di kawasan Malioboro. Menikmati senja dipinggir jalan Malioboro yang sangat memanjakan kita ditambah dengan alunan tembang musisi jalanan menambah warna jingga saat senja. Nikmatnya segelas kopi hitam yang ditambah dengan bara api yang terkenal dengan nama kopi joss cukup meredakan rasa cape selama perjalanan kita dihari ketiga. Dan tengah malam kita masih bisa menikmati gudeg pawon, makanan khas kota Yogyakarta. Berbeda dengan yang lain gudeg ini hanya buka pukul 22.00WIB dan tutup sekitar pukul 02.00 WIB. Rasa gurih dan manis yang pas menjawab kita yang harus sabar mengantri, jika kita tidak datang lebih awal.


Gudeg Pawon
Hari keempat di Kota Ygyakarta disambut dengan hujan gerimis yang temani jejak langkah kita menuju wisata pasca erupsi merapi. Segelas kopi di Warung Bu Panut putri pertama Mbah Maridjan cukup untuk meredakan dinamika kedinginan yang melekat ditubuh kita. Kabut tebal serta rintik air hujan masih setia bersemayam. Hingga akhirnya kita kembali melanjutkan pengembaraan kita di Yogyakarta. Sisa waktu dihari keempat hari terakhir perjalanan, kita luangkan untuk membeli tiket pulang ke Bandung, kota tempat kita menjadi mahasiswa lagi. Kami bergegas dan mengantri di loket Stasiun Lempuyangan, Stasiun buat para penumpang yang terjungkal modal. Namun sayang, kami kehabisan tiket ke Bandung. Padahal besok pagi kita harus sudah berada di Bandung karena kepentok kuliah dan deadline pekerjaan. Rasa kesal, bingung, lapar menjadi satu. Berbagai alternatif lain kita pikirkan untuk bisa kembali ke Bandung. Akhirnya Stasiun Tugu jawabanya, walaupun merogoh kocek 3x lipat lebih banyak. Faktor keterpaksaan yang utama lantaran utang, namun yang penting kita bisa kembali ke Bandung. Liburan selesai, saatnya beraktivitas kembali. Menjadi mahasiswa bergelut dengan buku demi mendapatkan selembar kertas yang tak pasti. 

Stasiun Tugu












Special thanks for : LENSA Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

2 komentar:

  1. jalan jalan terus yaaaah ???
    melu mbuapa ndloooozzzz..........
    huuufh

    BalasHapus
  2. Fadiiiil, jadi pengen backpackeran ke Jogjaaa T__T
    Kemarin habis berapa uang Dil?

    BalasHapus